Senja dan Petrichor (Part-1)

Saat petang jika ada waktu luang aku selalu duduk di teras rumah,  sengaja hanya untuk memandangi langit kala senja. Namun, kali ini aku hanya bisa duduk di dalam rumah dan tanpa langit senja. Ah… aku benci hujan. Hujan membuatku tidak bisa beraktifitas banyak di luar rumah, ditambah dengan hari ini yang membuat langit senja tak ada indah-indahnya sama sekali. Hanya gelap dan tak ada warna lainnya. Aku sungguh benci hujan.

Ibu hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum saat melihatku sedang cemberut seperti ini. duduk dengan melipat kedua tangan yang ditaruh di atas lutut adalah posisi favoritku saat sedang bad mood. Bahkan acara di televisi yang kata teman-temanku sangat seru pun tak ku hiraukan. Ah… masih lebih seru memandangi langit senja, pikirku.

Aku masih bisa memaklumi jika langit senja tertutup oleh hujan bila masuk pada musim hujan. Tapi kan sekarang seharusnya sudah masuk ke musim kemarau mengapa masih saja turun hujan? Ah, aku lupa! Sekarang musim sudah tak lagi dapat diprediksi akibat bumi yang sudah tak lagi sehat. Cuaca tak lagi menentu, sehingga jadwalku untuk melihat pemandangan indah di kala senja pun turut tak menentu. Kesannya aku seperti anak kecil yang kehilangan permennya, tapi sebenarnya tidaklah sesederhana itu. Ada banyak kenanganku yang tersimpan pada langit senja. Juga janji. Bagiku, langit senja itu adalah ibu kedua ku.

ªªª

            Namaku Senja dan aku mulai menyukai senja saat aku mengetahui arti namaku. Petang itu aku bertanya kepada Ibu, mengapa aku diberi nama Senja. Sambil berbaring di pangkuan ibuku, aku tiba-tiba bertanya seperti itu. Ibu menatap wajahku sambil mengusap lembut rambut ikalku, dan tak lupa lengkungan senyuman ibu yang menghiasi wajahnya, menambah kecantikan alaminya. Ibu menjawab, karena aku secantik langit senja, penuh warna dan menentramkan. Senja itu saat pergantian dari sore ke malam hari. Pergantian kala itu menghasilkan pendar warna di langit. Ibu dan Ayah ingin kau seperti langit senja, selalu menghasilkan warna yang indah dan menentramkan hati kami. Ibu menjawab dengan mata menerawang seolah sambil menghapus kepedihan. Ah.. andaikan Ayah masih ada, tentu Ia akan bahagia melihat putri semata wayangnya tumbuh menjadi gadis kecil yang cantik dan cerdas, bisik hati ibu.

ªªª

            Saat itu Ibu sedang menggendong bayi mungil. Bayi berusia 18 bulan itu tak paham apa yang sedang terjadi, ia hanya melihat kebingungan mengapa banyak orang berpakaian serba hitam di rumahnya. Bayi mungil itu melihat wajah ibunya yang basah terus menerus karena dialiri oleh air mata. Tangan si bayi mencoba menggapai bulir air itu, tak ingin melihat ibunya yang cantik tampak kuyup karena terkena air mata. Ibu menggendong si bayi dengan erat, memeluknya, mendekapanya, dan menciuminya. Haya si bayi kini satu-satunya harta berharga Sang ibu setelah Ayah si bayi meninggal dunia di medan perang. Tadi pagi ibu mendapat kabar duka itu, dan petang ini jasad suaminya tercinta sampai di rumah diantar oleh kolega suaminya yang berpakaian hijau loreng. Hari itu adalah senja terkelam yang dirasakan oleh keluarga itu, terlebih sang bayi yang belum mengingat sosok Ayahnya dengan sempurna. Hanya foto-foto zaman dulu saja yang masih tersisa demi mengingat kembali bagaimana rupa Ayahnya si Bayi, Ayahnya Senja.

ªªª

            Aku mengadu kepada Ibu, menangis sesenggukan setelah pulang dari sekolah. Masih memakai seragam putih-biru, aku menubrukkan tubuhku ke badan Ibu. Ibu memandangku heran mengapa gadis manisnya menangis seperti itu, padahal putrinya adalah anak yang kuat yang tidak gampang menangis. Jika sudah sampai mengeluarkan air mata, itu tandanya sedang mengalami kesedihan yang sangat mendalam.

Aku menceritakan kepada Ibu, teman semasa kecilku akan pindah sekolah ke luar kota karena mengikuti ayahnya yang dipindah tugaskan. Bagas adalah sahabatku dari kecil. Kami selalu bersama sejak dia pindah ke komplek perumahan kami saat TK. Mulai dari TK hingga SMP kami selalu satu sekolah, pulang dan pergi bersama-sama, bermain dan bercanda bersama, dan kami selalu tak terpisahkan. Ibu tersenyum. Sebenarnya wanita paruh baya ini sudah mengetahui kabar ini dari bulan lalu, tapi sengaja tak ia sampaikan kepada putrinya sebab lebih baik Senja mengetahui langsung daripada ia yang sampaikan. Ternyata baru hari ini Senja mengetahuinya dari Bagas, padahal lusa adalah kepindahannya.

Sambil terisak aku menceritakan semuanya kepada Ibu. Saat pulang sekolah tadi Bagas bilang ada yang sedang ia ingin katakan sejak beberapa waktu yang lalu tapi sulit untuk dikatakannya. Ternyata itu adalah rencana kepindahannya. Aku bilang kepada Bagas kalau dia itu jahat, kenapa dia mau meninggalkan aku padahal kita kan tidak pernah terpisahkan, dan kenapa baru bilang sekarang? H-2. Lalu akupun lari meninggalkan Bagas sambil menangis di sepanjang jalan. Aku tidak menyukai perpisahan, dan jikapun itu harus terjadi aku ingin menjadi perpisahan yang manis.

Ibu mengangkat wajahku dan mengusap air mataku, dan dengan lembut ia berkata perpisahan yang manis itu bisa saja terjadi dan masih cukup waktu untuk menjadikannya nyata. Ibu memberikanku sebuah ide yang bagiku itu bukan saja sebuah ide yang cemerlang tetapi juga akan menjadi sebuah momen yang bisa aku dan Bagas terus kenang.

-BERSAMBUNG-