Bro-sis 😆

Meskipun tiap hari pasti ngejailin gw, ngegodain gw, bikin gw kesel, bikin gw cemberut, bikin gw ngambek, dan bikin gw teriak… tapi tetep aja ada perasaan kehilangan tiap gw inget bentar lagi dia bakal pindahan rumah. Bakal sepi kayaknya.
Ah ya… masih inget ketika gw ceritanya lagi jadi backpacker sama 4 temen kuliah cewe gw ke Jogja mei 2015 kemarin. Dibanding nyokap, dia yg paling bawel.
“Yul, jangan lupa solat”.
“Yul, jangan lupa makan”.
“Yul, lu punya maag. Kalo waktunya makan ya makan. Jangan di entar2.”
“Yul, ati2”.
“Yul, lagi apa?”
“Yul, lagi dimana?”

Yal yul yal yul mulu. Ish. Gw cuma read aja deh tuh BBM. Bawel bgt sih 😆😂😄.

Begitu balik lg ke rumah, gw protes, “A, bawel amat sih, lu. Ibu aja nyantai. Kasih kepercayaan kek ke gw. Gw kan bukan anak kecil lagi.”
Dia jawab, “tetep aja lu anak kecil di sini. Gw kan sekarang yg gantiin Bapak di rumah ini.”
(duh).. iya. Gw baru nyadar.
“Ciee.. yang khawatir sama gw. Perhatian niyeeee. Makasih ya, cui. Jadi seneng gw. Ternyata lu sayang sama adeknya”. Sambil cengar cengir gw godain dia.
“Auk ah.”
“Ciee… Gengsi nih yee. Jujur aja, A.”
“Diem, lu!”.
Ngakak gw 😂😂😂

diiyyuull

Area Rasaku, Jangan Kau Ikut Campur

Aku mengagumimu. Entah besok, lusa, dan seterusnya.
Maksudku, entah apa yang akan terjadi di kemudian hari.
Apakah aku akan tetap mengagumimu atau berubah menjadi rasa cinta.
Atau mungkin rasa kagum itu akan hilang, lenyap, menguap, dan pergi jauh tersapu angin?
Entah. Namun rasanya tidak mungkin.

Aku mengagumimu dengan alasan. Kelak aku akan mencintaimu tanpa alasan.
Aku tak mengharapkanmu untuk balas mengagumiku. Aku tak memaksa.
Aku dengan perasaanku itu adalah urusanku.
Aku dengan rinduku padamu, itu juga area perasaan pribadiku.
Kau jangan ikut campur.

Kau boleh bangga karena aku mengagumimu. Aku merindukanmu. Mungkin kelak aku akan mencintaimu.
Sebab kau dikagumi, dirindui, juga akan dicintai oleh seorang perempuan yang sangat jarang mengagumi, merindui, dan akan mencintai seorang pria dengan mudah.

Janganlah kau menyuruhku untuk berhenti mengagumimu.
Janganlah kau paksa aku untuk menghentikan rasa ini.
Janganlah kau berpikir seperti ini walau hanya satu detik.

Aku tak menyuruhmu untuk membalas rasa ini.
Sebab aku sadar, aku memiliki rasa ini tanpa disuruh juga tanpa dipaksa.
Muncul begitu saja.
Aku ingin kalaupun kau membalas rasa ini, itu bukan karena aku yang meminta.
Tapi karena fitrah yang menuntunmu. Muncul begitu saja.

(Aku mencintaimu itu urusanku, bagaimana dengan perasaanmu kepadaku itu urusanmu, aku tak peduli – Pidi Baiq)

diiyyuull

Senandung Harapan.. (bapak…)

Well, baru saja kami mengadakan pengajian 2 tahun meninggalnya Bapak. Sebenarnya, tepat 2 tahunnya adalah esok, tetapi kami mengadakan hari ini karena mencari waktu yang tepat. Kami mempersiapkan ini itu, membereskan sana sini, menyediakan segala yang diperlukan. Tidak berlebihan, tetapi cukup.

Sebelum pengajian dimulai.
aku sama aa (kakak ketigaku) masih gila-gilaan bareng juga bercanda sama keponakan (anak dari kakak keduaku).

Tiba pengajian.
Suasana udah mulai nggak enak. Ibu dan kakak keduaku udah mulai sesenggrukan.

Pembacaan yaasiin.
Giliran aku yang nangis. Deras. Kerudungku basah oleh air mata. Keponakanku yang berusia 7 tahun itu melihatku dengan iba.
Rencana awalku, aku nggak ingin nangis. Kenyataannya, aku tidak dapat melaksanakan rencanaku dengan baik.
Apa yang membuatku sedih? Hanya 1: Adakah lelaki lain yang akan menyayangiku setulus Bapak? Adakah lelaki lain yang akan memperjuangkanku setangguh Bapak? Adakah lelaki lain yang akan menenangkanku juga menyemangatiku saat aku sedih seperti yang dilakukan Bapak?
Ah… Pak. Aku enggak tau, apakah aku akan mendapatkan lelaki sehebat engkau? Atau, minimal mendekati engkau. Pak, kadang aku sebal menjadi anak bungsu. Sebab apa? Sebab waktuku bertemu engkau lebih sedikit dibanding dengan ketiga kakakku.

Pengajian selesai.
Berakhir juga tangisanku. Kepergianmu bukan untuk ditangisi tapi untuk dikenang. Aku menangis bukan karena kepergianmu, tapi karena merasa ada yang kurang.

Ketika Bapak meninggal, aku sadar aku ada pada taraf depresi ringan. Aku curhat kepada salah seorang penulis kebanggaanku, Pidi Baiq. Beliau menasihatiku, “Jika Allah saja percaya kepadamu, lalu kenapa kamu tidak percaya kepada dirimu sendiri?”.  Beliau menyadarkanku bahwa aku mampu menangani segala kondisi kehidupanku.
“Selama ayahmu ada di dalam hatimu, dia tidak pergi kemana-mana. Dia akan selalu hidup.” Ya, dia benar. Bapakku akan selalu hidup dengan semua kenangan yang ku punya.

Cimahi, 22 November 2015.

diiyyuull

Rindu Dilan

Dulu aku menyayanginya dan kini juga
Dulu aku mengaguminya dan kini masih
Dulu aku merasa rindu dan kini sangat
Dulu aku merasa bangga dan kini iya

Kini aku mencarinya
Kini aku menanyakan kabarnya
Kini aku kehilangannya

Dulu aku mengekangmu dan kau tak suka
Dulu aku mengancammu dan kau terusik
Dulu aku masih remaja dan kau memahaminya
Dulu aku lakukan karena amat menyayangimu dan kau tau

Kau, Dilan
Aku, Milea
Terima kasih untuk telah mengguratkan seni rasa ini.

(Tulisan ini saya buat karena terinspirasi dari kisah Dilan dan Milea dari buku yang berjudul “Dilan, Dia adalah Dilanku Tahun 1990” dan “Dilan, Dia adalah Dilanku Tahun 1991” karya Pidi Baiq Sang Imigran dari Sorga)

Tulisan Sahabat

Tulisan Sahabat. Itulah judul yang tertera di blog seorang sahabat SMA ku, di http://tarianjarilentik.blogspot.com. Dia menuliskan kembali puisi yang pernah ku tulis di buku bindernya. Kalau saja aku tidak membuka dan membaca tulisannya itu, mungkin sampai sekarang aku sudah lupa kalau pernah menuliskannya. Aku menuliskannya saat kelas 3 SMA,  beberapa bulan sebelum kelulusan kami.

Untuk kembali me-recall ingatan, akan ku tulis ulang pada postinganku kali ini:



DOA PADA BINTANG

Tiap malam ku lihat indahnya Bintang
Ku berharap padanya agar jangan pernah meredup
Biarkan cahyanya terus temaniku
Merasuk ke jiwa yang hampa
     Bintang yang terang …
     Ingin ku mohon padamu
     Berikan sinarmu yang terindah
     Tuk perindah harinya
     Dan sampaikan rindu ini untuknya
     Karna sungguh aku sayang padanya…
     Walaupun dia takkan pernah menyadarinya
Bintang…
Lewat cahyamu ku lepaskan rinduku untuknya
Dan lindungilah dia dari gelapnya malam

(130107, 10:43 WIB)

KEBISUAN

Kadang kata tak berarti
Hanya diam yang terucap meragu

Kebisuan melukiskan kejujuran
Sebagai isyarat hati tak terucap
     Andai kau tau…
     Keterdiamanku ini tak berarti hati ini meragu
     hanya saja ku tak mampu mengucapkannya
     “AKU SAYANG KAMU”….
       (130107, 10:49)

UNTITLED

Ku tau ku hanya seorang wanita biasa
Sanggupkah ku terus bertahan? ku tak tau
Namun yang ku tau hanyalah
Sanggupkah ku ingin agar kau tau apa yang ku rasakan
Apakah mungkin karena ku terlalu sayang

yang tak pantas milikimu
namun izinkan hati ini tuk bisa
mencintaimu walau perih terasa
tanpa balasmu
Jika saat ini hanya ketulusan cinta dari hatiku
Hanya untukmu
Saat ini dalam hatiku
Namun ku tak mampu tuk ungkapkan rasa ini
kepadamu
kepadamu?
Mungkin…

(Jumat, 130407, 10:00) -yul-

Welcome Back

Sudah setahun lebih gue nggak nengok blog ini. *bersihin sarang laba-laba*

Setahun ini ngapain aja sih gue? Dimana? Sama siapa? Semalam berbuat apa?. Umm.. oke-oke. Itu lirik lagunya Kangen Band *abaikan*

So, ceritanya gue lagi sok sibuk kerja aja. Sempat nyicipin kerja di perusahaan dengan posisi yang lumayan enak, tapi gue memutuskan berhenti karena nggak sreg aja sama hati gue. Lalu pindahlah gue ke sebuah sekolah yang isinya anak-anak usia dini. Disini gue mendapat tugas untuk mengajari mereka. Gue betah di tempat ini. Ketika gue nggak hadir, besoknya anak-anak nyariin gue. Saat bermain di lingkaran, beberapa anak memilih untuk ada di samping gue. Waktu gue datang, anak-anak berebutan buat mencium tangan gue. Dan, waktu mereka pengen boker, mereka juga maunya sama gue. *palm face*

Gue belum menikah apalagi punya anak, tapi gue suka anak kecil. Hal ini bermula ketika kakak gue ngelahirin anaknya, itulah pertama kalinya gue punya ponakan. Jadi tante, tiap hari ngeliat anak kecil, sambil mempelajari tumbuh kembang sesuai umurnya dari buku juga yang diajarkan dosen saat kuliah. Komplit sudah, gue ngerasa sedang belajar gimana jadi seorang ibu. Kini ponakan gue udah kelas 1 SD.

Punya keponakan, gue cuma tahu apa aja yang boleh dan ngga dilakukan, makanan apa yang boleh dan dilarang dia konsumsi, mainan, tontonan, dan perlakuan apa yang harus kita berikan juga contohkan. Gue sebagai tante cuma bisa ikut campur sedikit saja, karena selebihnya adalah hak orang tuanya. Tetapi, menjadi seorang pendidik (gue lebih suka menyebut pendidik daripada pengajar), bukan saja mengenalkan angka & huruf, mengajarkan cara membaca juga menulis, tetapi lebih dari itu. Gue memiliki beban moral untuk mendidik mereka sesuai dengan usianya. Anak meniru segala ucapan, dan tindakan yang orang dewasa lakukan. Gue nggak mau mereka tercemar dengan polusi yang dihasilkan oleh orang dewasa. Contohnya? Ketika ada anak yang menyanyikan lagu dari suatu band, gue bilang bahwa itu lagu yang nggak bagus. Ketika mereka cerita semalam habis menonton serial Ganteng-Ganteng Serigala, gue bilang untuk jangan menontonnya lagi dengan berusaha memberikan penjelasan sederhana yang bisa mereka terima.Disitu gue jengkel dengan orang tua nya, kenapa anak-anak dibiarkan melihat acara yang tidak seharusnya mereka tonton.

Ada kebanggaan ketika seorang ibu meminta kepada gue untuk memberi pengertian kepada anaknya untuk mau dibersihkan telinganya. Sempat bengong juga tuh gue, maksudnya apa? Lalu si ibu itu bilang, kalau anaknya jadi mau dipotong kukunya karena gue cerita kalau kuku panjang dan kotor maka anak-anak bakal sakit perut karena banyak telur cacing juga kotoran. Alhamdulillah omongan gue diperhatikan juga. Hehehe.

Gue nggak tahu bakal sampai kapan gue akan terus bekerja di tempat ini. Gue masih ingin berkembang dan menambah ilmu lagi. Ilmu sebagai bekal untuk diri gue saat membantu orang lain dan juga bisa gue terapkan ketika gue menjadi seorang istri dan ibu bagi keluarga gue kelak. Gue ingin terus dan terus belajar menjadi lebih baik lagi. Bukankah hidup ini adalah sebuah proses?

Senja dan Petrichor (Part-3)

Cimahi, 13 Maret 2005

Hai, Senja sahabatku sejak TK. Pasti kamu kesal banget karena udah nungguin Bagas lama banget. Tadinya sih Bagas ingin menepati janji kita untuk saling bertukar kado, tapi kayaknya ngga seru ah kalo kita cuma ketemuan, tukeran kado, kamu marahin Bagas karena baru tahu tentang pindahan sekolah, terus balik ke rumah masing-masing. It’s too mainstream. Hehe.

Kalo kayak gini kan lebih berkesan. Kita bisa saling tukeran kado (walaupun lewat kurir, adikku), dan kamu bisa (tetap) marahin Bagas juga, nah, malah dobel kamu marahin akunya karena ditambah kamu yang marah karena kesal nungguin Bagas. Hehe. Terus serunya dimana? Seru karena kita jadi punya banyak cerita yang bisa kita simpan masing-masing tanpa perlu kita saling mengetahuinya. Biarkan perasaan itu sama-sama kita jaga dan kita rahasiakan, perasaan tentang perpisahan ini. Toh, ada kalanya kita tak ingin mengungkapkan perasaan sedih kita karena perpisahan ini diketahui oleh orang lain.

Hai, Senja. Maaf kalau Bagas baru memberitahumu kemarin. Sebenarnya dari minggu kemarin Bagas sudah ingin memberitahumu, tapi kamu pun juga tahu kita sedang sibuk pengayaan dan try out menghadapi UN, dan pula jadwal kelasku dan kelasmu berbeda. Baru kemarin saja, saat kita kebetulan punya jadwal yang sama baru ku beritahu kamu. Sebenarnya Bagas sudah meminta kepada Ayah untuk menunda keberangkatan sampai Bagas lulus sekolah, 3 bulan ke depan. Tapi sayangnya Ayah tidak bisa mengabulkannya karena tugas yang sangat mendesak. Bagas mengajukan opsi lain, bagaimana jika untuk 3 bulan ini Bagas dititipkan saja ke kerabat lain sampai UN berlangsung. Hmm.. Ayah sempat berpikir tapi langsung ditolak oleh Ibu. Ibu tidak mengizinkan karena khawatir dan sulit untuk mengontrolku, sulit karena jarak. Ya, aku segera akan pindah ke luar kota, Senja. Bukan hanya berbeda kota, tetapi provinsi, dan juga pulau. Kami akan segera tinggal di Pulau yang kata banyak orang adalah surganya para Dewa karena keindahannya, tapi lebih indah lagi jika tidak banyak sampah karena ulah para wisatawan. Semua kepindahan sekolah sudah mereka urus, dan lusa aku sudah bisa langsung sekolah di tempat yang baru.

Kamu bosan tidak dengan suratku yang panjang ini? Cukup lelah ya ternyata menulis dengan berlembar-lembar kertas binder seperti ini. Hehe. Kalau kamu lumayan bosan, kamu bisa buka isi kotak yang lainnya juga loh. Apa yang kamu temukan? Seharusnya sih kamu bisa menemukan bundelan kertas, ya, surat yang sedang kamu baca  ini, sebuah note book kecil, gantungan kunci, dan bibit pohon kenari. Kamu sudah menemukan itu semua kan, Senja? Apa? Kamu bingung karena tidak menemukan bibit pohon kenari?  Haha.

Iya, Bagas  nggak jadi memasukkan bibit kenari ke dalam kotak karena belum tahu seperti apa rupanya. Sebagai gantinya, Bagas kasih kacang kenarinya saja ya? Boleh kok kamu makan, bebas. Kalau kurang kan bisa kamu ambil lagi di pohon kenari taman ujung komplek ini. Hehe. Bagas ingin kamu mengenang kalau kenari ini sebagai tanda bahwa kita selalu berbagi cerita dan berbagi ide di bawah pohon ini.

Senja, kamu masih ingin menjadi dokter kan? Lihat gambar gantungan kuncinya. Sudah cukup mewakili cita-citamu kan? Biar apa? Biar kamu suka. Suka sama kemampuan dirimu untuk terus dapat meraih impianmu itu. Biar kamu bisa meraih impianmu, kamu harus giat belajar dan mengembangkan wawasanmu. Tuh, sebagai tanda bahwa Bagas mendukung cita-citamu, Bagas sudah rangkum semua rumus matematika, kimia, fisika, dan materi biologi di note book kecil ini. Lumayan buat kamu terus belajar dan bisa dibawa kemana-mana menjelang UN ini.

Coba kamu ambil note book itu. Sudah lengkap belum rumus dan materinya? Kalau belum lengkap kamu tambahkan sendiri ya, soalnya yang ada di buku catatanku sih begitu. Tapi mudah-mudahan sama kok isinya, kan, kita diajarin oleh guru yang sama. Hehehe. Itu, di ujung kanan tiap lembar kertas ada gambar kecil yang aku buat. Aku buat lembar per lembar. Nah, sekarang kamu buka secara cepat deh note book itu. Apa yang kamu lihat? Gambar yang seakan-akan berubah dan bergerak? Yap! Semoga kamu suka ya, dan suatu saat aku bisa meraih impianku untuk menjadi seorang ilustrator handal. Aamiin.

Senja, masih marah sama Bagas ngga? Duh, jangan lama-lama dong. Senja yang dikenal oleh Bagas itu adalah Senja yang mudah memaafkan. Bagas harap semua isi dalam kotak ini bisa kamu gunakan dan kenang terus. Benda darimu (yang entah isinya apa, kan belum sampai di tanganku) akan Bagas terus simpan. Terima kasih, Senja untuk persahabatan yang indah ini. Semoga lain waktu Bagas bisa pindah kembali ke kota ini, dan Ayah ngga pindah-pindah tugas lagi. Aamiin.

 

                                                                                                                                                                                                                                                                Sahabatmu yang Oke

 

                                                                                                                                                                                                                                                                       Bagas Eka

Petang itu aku membaca suratmu ditemani oleh angin senja yang meniupkan dedaunan pohon kenari yang ada di belakangku. Terima kasih juga, Bagas, sahabatku.

Delapan tahun kemudian, yaitu kini, aku membaca kembali surat itu. Masih petang, tetapi tidak ditemani oleh angin senja, melainkan hujan dan aromanya.

-BERSAMBUNG-

Senja dan Petrichor (Part-2)

H-1 dan aku menunggu Bagas. Pukul 4 Sore.

Sejam berlalu.

Masih belum ada tanda-tanda Bagas datang. Aku mulai kesal. Ku mainkan gelang tangan dari pilinan akar khas dari daerah yang akan ku berikan kepada Bagas.

Pukul 5.30 Sore dan aku berdiri dari tempat dudukku di bawah pohon kenari ini, pohon besar dan rindang di sudut taman ujung komplek. Aku kesal atau lebih tepatnya menyayangakan tindakanku, mengapa aku mau saja menunggu selama 1,5 jam!. Bagas bukanlah orang asing, kita sudah berkawan bertahun-tahun dan itu seharusnya sudah cukup bagi dia untuk memahamiku, aku tidak suka menunggu, dan bahkan jika harus maka aku butuh alasan khusus untuk iya ku lakukan. Aku terus berjalan menjauhi tempat itu, tempat biasa aku menikmati sore tanpa ataupun bersama Bagas.

Sayup-sayup ku dengar ada seseorang memanggil namaku. Sesaat aku terdiam lalu memalingkan wajahku. Bukan Bagas tetapi adiknya, Rara. Rara memberikanku sebuah kotak titipan dari kakaknya. Rara yang berusia 3 tahun di bawahku memohonan maaf, maksudku bukan karena kesalahan Rara maka ia meminta maaf, tetapi karena ia mewakili kakaknya. Bagas tak dapat hadir menemuiku karena suatu hal, dan jawabannya dapat ku temui di kotak ini. Aku mengucapkan terima kasih kepada Rara dan menitipkan gelang untuk Bagas kepada Rara. Sebenarnya aku amat kesal karena Bagas tidak menepati janjinya. Namun, rasa kesal ini terbalut oleh rasa penasaranku akan isi kotak ini.

Setelah memberiku sebuah kotak yang penuh berisi dengan tanda tanyaku, Rara kemudian pamit pergi dan berjalan pulang. Aku pun ikut berjalan, tapi tidak bersama Rara menuju rumah, tapi aku kembali melangkahkan kaki ke tempat tadi, tempat dimana aku biasa menikmati sore, juga tempat dimana 5 menit yang lalu ku beranjak pergi karena Bagas yang tak kunjung datang.

ªªª

Hujan masih saja turun dan aku pergi ke kamarku. Kamarku adalah tempat favorit bagiku dan hanya aku saja yang boleh mengubah letak barang-barang yang ada di sini. Aku berjalan ke sudut kamar menghampiri jendela yang menghadap ke jalan. Kupandangi bumi yang basah, menatap tiap tetes air yang tercurah dari langit yang mengenai kaca jendelaku. Bulir-bulir air di kaca mengalir turun digantikan oleh bulir air yang baru datang. Ku usap jendela kamarku yang berembun dengan kedua telapak tangan, menatap langit dengan lebih jelas. Aku tidak suka hujan karena ia menghalangiku melihat langit senja, tetapi aku suka akan aromanya saat ia membasuh tanah, yang entah mengapa ia selalu saja bisa membangkitkan kenangan akan masa lalu. Aku tidak tahu apa nama istilah untuk aroma yang menenangkan ini. Ah… tak peduli apa itu namanya, tapi kurasa kalianpun paham bagaimana harumnya aroma ini.

Sudah 8 tahun yang lalu, dan aku selalu teringat Bagas. Bagas sama seperti temanku yang lainnya. Ia suka berkumpul bersama teman se-gank­ nya, bermain gitar di kantin pinjam punya kawannya yang lain, sering meminta izin kepada guru di kelas untuk pergi ke toilet padahal hanya ingin melewati kelas gebetan nya. Beberapa kali kena razia oleh guru piket karena baju yang tidak rapi karena dikeluarkan, dan rambut yang sudah panjang. Ia bukan siswa teladan tapi termasuk anak yang pintar. Ya, Bagas tidak berbeda dengan anak SMP se-Indonesia lainnya, tapi ia menjadi berbeda di mataku karena ia adalah sahabatku. Selama SMP kami tidak pernah sekelas tapi aku kenal semua teman-temannya begitupun juga dengan dia.

Ah, Gas… kamu kok tidak ada kabarnya sih? Apa sudah lupa sama sahabatmu ini? Kamu dulu pernah hampir memarahi kakak kelas di depan orang-orang saat di kantin. Kakak kelas yang kemudian aku menyebutnya mantan, yang sudah bikin aku kecewa karena selingkuh dengan perempuan lain beda sekolah. Aku mengetahuinya dari kamu, ketika kamu sedang bermain skateboard di lapangan alun-alun di hari Minggu dan melihat mantanku bersama perempuan lain. Oh iya, kamu masih ingat atau tidak? Kan aku dulu juga pernah jadi mata-mata adik kelas yang jadi gebetan mu itu. Aku sampai harus banyak bicara dengannya sampai ku tahu kapan dia berulang tahun dan hal lain tentang kesukaannya. Saat dia ber-ulang tahun kamu memberikan dia kado kaset Sheila On 7, sayangnya dia juga sudah punya. Akhirnya kado mu itu diberikannya kepada pacarnya. Aah.. sungguh kecewanya kamu dan menyesali mengapa sejak awal tidak bertanya apakah dia masih single atau tidak.

Saat sedang teringat Bagas aku selalu mengambil kotak pemberiannya dari atas meja belajarku. Ku buka kotak itu dan ku baca lagi surat yang ia tuliskan, surat yang berisi jawaban mengapa ia tidak datang saat ku menungguinya di bawah pohon kenari dulu. Surat pertama dan terakhir sejak ku mengenal dia,  Bagas Eka, sahabatku yang kini aku tak tahu lagi kabarnya. Dan… aku pun mulai membaca surat itu kembali…

-BERSAMBUNG-

Senja dan Petrichor (Part-1)

Saat petang jika ada waktu luang aku selalu duduk di teras rumah,  sengaja hanya untuk memandangi langit kala senja. Namun, kali ini aku hanya bisa duduk di dalam rumah dan tanpa langit senja. Ah… aku benci hujan. Hujan membuatku tidak bisa beraktifitas banyak di luar rumah, ditambah dengan hari ini yang membuat langit senja tak ada indah-indahnya sama sekali. Hanya gelap dan tak ada warna lainnya. Aku sungguh benci hujan.

Ibu hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum saat melihatku sedang cemberut seperti ini. duduk dengan melipat kedua tangan yang ditaruh di atas lutut adalah posisi favoritku saat sedang bad mood. Bahkan acara di televisi yang kata teman-temanku sangat seru pun tak ku hiraukan. Ah… masih lebih seru memandangi langit senja, pikirku.

Aku masih bisa memaklumi jika langit senja tertutup oleh hujan bila masuk pada musim hujan. Tapi kan sekarang seharusnya sudah masuk ke musim kemarau mengapa masih saja turun hujan? Ah, aku lupa! Sekarang musim sudah tak lagi dapat diprediksi akibat bumi yang sudah tak lagi sehat. Cuaca tak lagi menentu, sehingga jadwalku untuk melihat pemandangan indah di kala senja pun turut tak menentu. Kesannya aku seperti anak kecil yang kehilangan permennya, tapi sebenarnya tidaklah sesederhana itu. Ada banyak kenanganku yang tersimpan pada langit senja. Juga janji. Bagiku, langit senja itu adalah ibu kedua ku.

ªªª

            Namaku Senja dan aku mulai menyukai senja saat aku mengetahui arti namaku. Petang itu aku bertanya kepada Ibu, mengapa aku diberi nama Senja. Sambil berbaring di pangkuan ibuku, aku tiba-tiba bertanya seperti itu. Ibu menatap wajahku sambil mengusap lembut rambut ikalku, dan tak lupa lengkungan senyuman ibu yang menghiasi wajahnya, menambah kecantikan alaminya. Ibu menjawab, karena aku secantik langit senja, penuh warna dan menentramkan. Senja itu saat pergantian dari sore ke malam hari. Pergantian kala itu menghasilkan pendar warna di langit. Ibu dan Ayah ingin kau seperti langit senja, selalu menghasilkan warna yang indah dan menentramkan hati kami. Ibu menjawab dengan mata menerawang seolah sambil menghapus kepedihan. Ah.. andaikan Ayah masih ada, tentu Ia akan bahagia melihat putri semata wayangnya tumbuh menjadi gadis kecil yang cantik dan cerdas, bisik hati ibu.

ªªª

            Saat itu Ibu sedang menggendong bayi mungil. Bayi berusia 18 bulan itu tak paham apa yang sedang terjadi, ia hanya melihat kebingungan mengapa banyak orang berpakaian serba hitam di rumahnya. Bayi mungil itu melihat wajah ibunya yang basah terus menerus karena dialiri oleh air mata. Tangan si bayi mencoba menggapai bulir air itu, tak ingin melihat ibunya yang cantik tampak kuyup karena terkena air mata. Ibu menggendong si bayi dengan erat, memeluknya, mendekapanya, dan menciuminya. Haya si bayi kini satu-satunya harta berharga Sang ibu setelah Ayah si bayi meninggal dunia di medan perang. Tadi pagi ibu mendapat kabar duka itu, dan petang ini jasad suaminya tercinta sampai di rumah diantar oleh kolega suaminya yang berpakaian hijau loreng. Hari itu adalah senja terkelam yang dirasakan oleh keluarga itu, terlebih sang bayi yang belum mengingat sosok Ayahnya dengan sempurna. Hanya foto-foto zaman dulu saja yang masih tersisa demi mengingat kembali bagaimana rupa Ayahnya si Bayi, Ayahnya Senja.

ªªª

            Aku mengadu kepada Ibu, menangis sesenggukan setelah pulang dari sekolah. Masih memakai seragam putih-biru, aku menubrukkan tubuhku ke badan Ibu. Ibu memandangku heran mengapa gadis manisnya menangis seperti itu, padahal putrinya adalah anak yang kuat yang tidak gampang menangis. Jika sudah sampai mengeluarkan air mata, itu tandanya sedang mengalami kesedihan yang sangat mendalam.

Aku menceritakan kepada Ibu, teman semasa kecilku akan pindah sekolah ke luar kota karena mengikuti ayahnya yang dipindah tugaskan. Bagas adalah sahabatku dari kecil. Kami selalu bersama sejak dia pindah ke komplek perumahan kami saat TK. Mulai dari TK hingga SMP kami selalu satu sekolah, pulang dan pergi bersama-sama, bermain dan bercanda bersama, dan kami selalu tak terpisahkan. Ibu tersenyum. Sebenarnya wanita paruh baya ini sudah mengetahui kabar ini dari bulan lalu, tapi sengaja tak ia sampaikan kepada putrinya sebab lebih baik Senja mengetahui langsung daripada ia yang sampaikan. Ternyata baru hari ini Senja mengetahuinya dari Bagas, padahal lusa adalah kepindahannya.

Sambil terisak aku menceritakan semuanya kepada Ibu. Saat pulang sekolah tadi Bagas bilang ada yang sedang ia ingin katakan sejak beberapa waktu yang lalu tapi sulit untuk dikatakannya. Ternyata itu adalah rencana kepindahannya. Aku bilang kepada Bagas kalau dia itu jahat, kenapa dia mau meninggalkan aku padahal kita kan tidak pernah terpisahkan, dan kenapa baru bilang sekarang? H-2. Lalu akupun lari meninggalkan Bagas sambil menangis di sepanjang jalan. Aku tidak menyukai perpisahan, dan jikapun itu harus terjadi aku ingin menjadi perpisahan yang manis.

Ibu mengangkat wajahku dan mengusap air mataku, dan dengan lembut ia berkata perpisahan yang manis itu bisa saja terjadi dan masih cukup waktu untuk menjadikannya nyata. Ibu memberikanku sebuah ide yang bagiku itu bukan saja sebuah ide yang cemerlang tetapi juga akan menjadi sebuah momen yang bisa aku dan Bagas terus kenang.

-BERSAMBUNG-